Jejak Mentari

My Fiction Story, Published by Tunas Puitika

Ilustrasi

Semburat sinar pagi tanda awal kehidupan, dengan ribuan benang-benang emas yang terurai kaku menerobos rumitnya celah-celah ranting pepohonan.

Setiap satuan napas yang terbuang menarik diriku lebih jauh dalam nadi-nadi kehidupan yang membingungkan. Aku mencoba menapaki bumi ini selagi fajar masih merona. Merasakan kemurnian yang datang sesekali lalu hilang ditelan aktivitas manusia. Kaki ini terus melangkah, membawaku pada sosok bidadari yang sedang tertunduk manis. Bibirnya merah, matanya bening, dan ketika sayup angin menerpa, jilbab itu melambai indah membelai lembut. 

"Apakah anda butuh bantuan, Nona?" kataku memulai perkenalan. 

Dia hanya tersenyum. Selama beberapa saat tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Tolong, bisakah anda ambilkan perban di dalam tasku?!" pintanya sambil menunjuk kursi taman yang hanya beberapa langkah dari  kami. Dengan sigap kuambilkan tas itu.

"Ini..! Wah tasmu berat juga ya? Maaf aku tidak berani membuka tas orang lain." 
"Terima kasih, maaf sudah merepotkan." 
"Tidak usah sungkan." 

Selama beberapa saat kami terhanyut dalam obrolan yang begitu menarik, setidaknya bagiku. Tangannya begitu lihai membalut kaki kucing itu. 

"Mmm...perkenalkan, saya Reyhan."
Aku melihat keraguan di matanya. Hening sejenak. Tangannya masih tergenggam kuat memeluk kucing itu.
"Salwa." jawabnya pelan tanpa membalas uluran tanganku. 

Dia melirik jam di tangannya sambil sesekali melihat sekeliling. Mengawasi seperti menebak-nebak apakah ada yang membuntutinya. 

"Bisakah anda menjaga kucing ini, Tuan?" tiba-tiba dia menyodorkan kucing itu ke tanganku. "aku harus pergi. Sudah terlambat, aku akan kembali..." dia meninggalkanku yang sedang terpaku. Kulihat punggungnya yang kian menghilang ditelan kerumunan orang. 

                               *   *   *
Ku bawa kucing itu menuju rumahku. Tak ku dapati gadis itu selama beberapa jam di sana. Kupikir merawat kucing yang malang ini tidak masalah. Ku teruskan langkah meninggalkan taman menuju Bukit Rosary. Bukit dimana aku berdiam, menapaki kenyataan yang terkadang sulit tuk dimengerti. 

Ting...teng...ting...teng. Tidak terlalu lama pintu terbuka. 
"Mas Rey, darimana saja?! Tadi dicari ibu." kata salah seorang pembantu di rumahku. 
"Pasti mau pergi lagi?!!" jawabku.
"Ya...Mas Rey."

Aku masuk, kemudian meletakkan kucing itu di sofa kamarku dan merebahkan tubuhku setelah mandi dan sarapan. Tiba-tiba aku kembali terbayang sosok gadis yang aku temui di taman. Sosok yang begitu anggun dan penuh kasih. 
"Tapi dia..." aku berhenti mendesah dalam batin. Aku terlalu lelah dan tanpa sadar kelopak mataku tertutup. Tak sanggup lagi aku mengganjalnya. 

                              *   *   *

"Hey..." sesosok gadis tiba-tiba datang. 
"Kamu sudah lama menungguku di sini?"
Aku tersentak. Dari arah samping dia datang lalu duduk di sebelahku. 
"Kucing itu mana?"
"Ku...kucing itu...?!!" jawabku dengan tergagap. Pertanyaannya bagaikan petir di siang bolong. Tak ku dapati kucing itu bersamaku. Aku bingung. Detak jantungku berdegup begitu kencang. Meski aku mencari dengan sekuat tenaga tapi kucing itu tetap tidak ada. 

                              *   *   *

Ku pandangi langit-langit dan dinding-dinding sekitar. Ya, ku tersadar. Aku bukan berada di sebuah taman. Tidak ada kursi taman, tidak ada seorangpun termasuk gadis itu, dan...hanya ada kucing yang aku cari-cari. Aku juga masih mendengar suara kucing yang sedari tadi membangunkanku dari mimpi. Dia terus mengeong di sampingku. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 11.45.

Kucing itu terus saja mengeong. Kini dia mengeong sambil berjalan menuju jendela rendah kamarku. Menelisik bak seorang detektif sambil sesekali mengendus kesana-kemari. Aku ikuti dan langsung saja aku gendong kucing itu. Kulihat ada segerombolan orang berbondong-bondong menuju suatu tempat untuk melaksanakan kebiasaan mereka. Aku sering melihat mereka mengerjakan hal semacam itu, tapi entahlah aku tidak tahu. Kubawa dia ke dapur, mungkin dia hanya merasa lapar sehingga dia selalu mengeong dengan tingkah aneh. 

Jam dinding rumahku menunjukkan pukul 15.30 saat kedua sahabatku datang untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka. Randy dan Rere, begitulah aku sering memanggil mereka. "Meong...meong..." tak ku pedulikan sesaat suara kucing itu.

"Kalian memang cocok yah? Serasi." sahutku.
"Ah, biasa aja Rey. Kapan nih giliranmu?"
"Nyante aja...Belanda masih jauh."

Mereka terkekeh mendengar ucapanku itu. Kucing itu tak henti-hentinya mengeong dengan tingkah aneh. Memutari kakiku sambil mengelus-eluskan pelipisnya, naik turun sofa tempat aku duduk, dan sesekali duduk di pangkuanku sambil menggerak-gerakkan ekornya.

"Rey, lucu sekali..." Rere mendekat. "ini kucingmu?" tanya Rere sembari mencoba menggendong.

Rere mulai menggendong kucing putih nan bersih itu ketika aku dan Randy beranjak dari sofa menuju taman belakang rumahku. Tiba-tiba terdengar suara agung menggema. Suara yang selalu membuat hatiku bergemuruh entah mengapa.
"Allahu Akbar" 
              "Allahu Akbar"
"Asyhadu allaa illaaha illallah"
Ngeongan kucing itu semakin keras. Dia berusaha melepaskan diri dari gendongan Rere. Tapi gagal. "Aughh..." tiba-tiba Rere menjerit.

"Ada apa Re?" teriakku dan Randy berbarengan. Randy lari tak karuan, aku mengikutinya.
"Kucingmu menggigitku Rey!" Rere merintih kesakitan. Kulihat darah segar mengalir di lengannya.
"Tidak biasanya dia seperti itu." lirihku.
"Oke, ya udahlah kami harus pamit. Sampai disini aja nanti aku hubungi lagi. Ayo Re, kita harus cepat-cepat obati lukamu! Rey, kami pamit dulu."
"Ya, kalian hati-hati."

                                *   *   *

Aku kembali ke dalam rumah. Kucing itu bersembunyi dan aku tidak bisa menemukan tempat persembunyiannya. Dari bilik rumah, kulihat segerombolan orang yang memasuki suatu tempat. Ku rasakan ketaatan mereka yang begitu dalam kepada Tuhannya sehingga ketika mereka mendengar sebuah panggilan, mereka langsung memenuhinya.

Diam-diam kaki ini mengarahkanku ke tempat itu. Kucoba mencari tahu apa yang mereka kerjakan. Sebagian dari mereka menuju tempat pemancuran untuk membasuh muka mereka dahulu. Pukk!!! Seseorang di belakangku menepuk punggungku.
"Sudah wudhu, Dhek?" aku menoleh dan kulihat seorang kakek tua berjenggot serta berpeci putih. "kalau belum, ayo sama-sama?! Mari silahkan!" kakek itu mengiringiku berwudhu.

Ku perhatikan yang dilakukan kakek itu dari awal hingga mulut kakek itu mengucapkan sesuatu yang asing terdengar olehku, sebagai akhiran dari apa yang sedang dilakukan. Kami masuk ke tempat itu. Ku lakukan hal serupa, mengikuti gerak-gerik mereka dan diakhiri sebuah salam.

Aku pulang menyusuri jalan setapak di belakang rumahku. Aku disambut oleh seekor kucing yang sedang asyik menjilati kakinya. "Meong,,," kusentil kupingnya. "kau nakal sekali...Rere sampai masuk rumah sakit gara-gara kamu!".

Ilustrasi

Aku berlari sambil membawa kucing itu melewati jalan setapak di belakang rumahku lagi. Jalan menuju Taman Flo memang sangatlah indah, karena bunga-bunga yang ada di tepi jalannya maupun hamparan pepohonan dan alang-alang yang terbentang luas. Sampai di sana aku duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari lokasi gadis itu membalut luka kucing ini. Berharap sang gadis muncul dan membawa kucing ini pergi.
"Mungkin dia ke sini tapi...aku malah tidak ada?!"
"Ah...tapi masa sih? Sebelumnya kan aku sudah menunggunya?!"
"Apa dia sengaja??!!!" 
Batinku bertarung hebat. Jarum jam tanganku menunjukkan pukul 17.10, tapi tak juga ku temukan tanda-tanda kehadirannya. Akhirnya ku putuskan untuk pulang.

Hujan turun begitu derasnya, tak peduli meskipun aku belum tiba di rumah. Ku nyalakan sebuah perapian kecil di ruang keluarga. Kucing itu tampaknya begitu nyaman. Dengan wajah yang sangat menggemaskan dia menjilati tubuhnya di depan perapian.
"Meong, meong, meong,,," 
Aku merasakan hal aneh. Cepat-cepat kulihat jam dinding. "pukul 17.47???" batinku. Ku dengar lagi suara agung itu. Sudah 3 kali kucing itu tiba-tiba mengeong lalu beberapa saat kemudian suara agung itu kembali terdengar. Kubuka tirai jendela ruang keluarga dan kudapati hal serupa, segerombolan orang yang menuju tempat itu seusai suara agung menggema. Kualihkan pandanganku pada kucing itu, tapi dia tidak ada. Aku mencari dalam keherananku. Kudapati dia tersungkur di bawah tempat tidurku, tergulung dengan ekor yang masih sempat ia gerak-gerakkan.

Beberapa saat kemudian, terdengar sebuah mobil berhenti di pelataran rumahku. Kulihat ibuku masuk diikuti seorang pria berperawakan besar yang sudah cukup tua dan seorang wanita berpenampilan bak seorang biarawati. "Ada apa ini??" batinku resah.

                             *   *   *
Ilustrasi

Mentari terbit begitu indahnya. Sayup angin Bukit Rosary diam-diam menelisik masuk melalui jendela rendah kamarku yang masih terbuka sejak semalam. Hamparan pepohonan yang basah dan sedikit berkabut seolah tidak membuat para burung sekalipun enggan untuk bernyanyi. Dari sisi timur tampak cahaya keperakan yang menerobos masuk celah ranting pepohonan. Kelokan-kelokan jalan menuju Taman Flo yang dikelilingi bunga musiman tampak seperti tali yang terurai indah ditambah lagi hamparan pepohonan dan alang-alang yang menawarkan kesejukan warna bagi siapapun yang melihatnya.

Baru ku sadari setelah sejenak menikmati keindahan Bukit Rosary, mobil orang-orang yang semalam datang sudah tidak terlihat lagi. Begitupun mobil ibuku. Kukira mereka pergi lagi setelah semalam membicarakan hal-hal penting dan rahasia. Begitulah yang terdengar. Aku langsung mengunci pintu kamar setelah tahu orang-orang itu yang datang. Mereka, termasuk ibuku takkan membiarkanku lolos dari diskusi yang mereka lakukan untuk membahas doktrinisasi, teologi, dan semacamnya yang membuatku muak. Ibuku takkan berani mengganggu jika tahu pintu kamarku terkunci dan mengira aku sudah tertidur.

Kucing itu naik ke pangkal jendela dan membangunkanku dari lamunan, menerawang jauh nan tajam. Kesana. Ya, menuju Taman Flo. Aku bergegas menuju Taman Flo setelah mandi dan sarapan. Tak lupa kucing aku bawa. Dengan mengendarai motor aku melaju.

Ilustrasi
Aku duduk di tempat yang sama, di kursi yang tak jauh dari tempat gadis itu membalut kaki kucing aneh ini. Ku gendong si kucing yang diam tanpa menggerak-gerakkan ekornya meski ia sedang tertidur. Hal yang amat mengherankan mengingat selama ini ia tidak pernah tidur senyenyak dan setenang ini. Hilir mudik orang-orang begitu terasa ketika tiba-tiba sosok gadis yang selama ini aku tunggu tersenyum mendekat. Salwa.

                              *   *   *

Aku pulang dengan segenap hati yang diliputi kecemasan. Tubuh ini serasa dingin membeku, jalanku terombang-ambing tanpa penopang yang pasti. Ku rasakan tubuh ini terpental jauh dari sepeda motor yang ku kemudikan. Masih kurasakan kata-kata yang terucap dari bibir Salwa.
"Di setiap tempat engkau menemukan kegelapan dalam hidupmu, tidak ada langkah yang tepat kecuali engkau nyalakan pelita dalam dirimu. Kepercayaanmu terhadap dirimu akan sangat membantu mewujudkan makna hidup yang lebih banyak dan membantu mendapatkan keuntungan dalam hidup. Sholat adalah jalan terbaik untuk menyalakan pelita dalam dirimu. Sholat itu penjamin kelapangan dada dan enyahnya keresahan. Mungkin sekarang kamu akan mengerti kenapa si mungil ini selalu bertingkah aneh di setiap waktu sholat tiba. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan akan banyak badai yang akan memadamkan pelita itu. Semoga Allah SWT menjadikan sesuatu yang menyenangkan setelah itu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah." 

Memori-memori itu kembali berkelebat dalam ingatanku. Kosong. Menerawang jauh hingga sedikit demi sedikit yang tersisa hanya kegelapan. Semuanya benar-benar menjadi gelap, tak ada secercah cahaya yang kuinginkan. Namun, sosok gadis berjilbab itu tiba-tiba datang, tersenyum sambil menggendong kucing putihnya itu. Tetapi bayangannya kembali lenyap. Gelap.

Begitu kuat sinar datang menerpa tubuhku. Bayang-bayang gelap yang kurasa kini mulai menghilang. Kulihat punggung seorang wanita yang ku kenal, ibu. Beliau sedang merana tajam memandangi sekelebat awan keemasan di ufuk timur. Aku menyapanya, tetapi tidak ada jawaban. Sekali, dua kali, tiga kali, dan hingga akhirnya Beliau merespon sapaanku. Matanya merah sayu, rona mukanya melukiskan suasana hati yang tak menentu. Dengan senyum yang dipaksakan Beliau menuntun dan mengajakku ke sebuah pintu. Ku perhatikan dengan saksama pintu itu. Tidak ada yang istimewa. Ketika ku ingin menanyakan maksud dari semua ini, ibuku sudah tidak ada.

                              *   *   *

Sayup-sayup terdengar isakan tangis seorang wanita yang begitu dalam dari balik pintu. Ingin rasanya kubuka pintu itu, tapi aku tidak tahu bagaimana dan dengan apa kubuka pintu itu. Tak berapa lama, seorang pria berperawakan besar menghampiriku. Dia membukakan pintu dan saat itu juga cahaya yang begitu terang serta angin menghempaskan tubuhku.

Ketika ku terbangun, aku berada dalam sebuah ruangan yang cukup asing. Kulihat ibuku menangis tersedu hingga air matanya membasahi tanganku yang sedang ia pegang erat. Tersirat dari rona wajahnya kebahagiaan yang begitu dalam. Cepat-cepat ia lari memanggil dokter.

Beberapa hari setelah kesadaranku, seluruh keluargaku menjenguk. Aku bahagia, tapi kejadian di alam bawah sadarku membuatku berpikir berulang kali. Ada apa ini?
Aku sudah menjadi penghuni kamar rumah sakit ini selama 3 bulan. Ayah tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan maut yang kami alami. Mobil kami hancur, terjun bebas dari jalan layang setelah sebelumnya menghindari kendaraan lain. Begitulah yang mereka katakan. Hhh,,,entahlah, aku tidak yakin.

                              *   *   *

Tiba saatnya aku kembali ke Bukit Rosary. Mungkinkah kucing dan gadis itu hanya di dalam mimpi? Tapi semuanya tampak nyata, begitu nyata.
Suasana kamarku tidak jauh berbeda dengan yang ada di mimpiku. Ku perhatikan, ku pandangi dengan saksama setiap sudut ruang. Tidak ada yang aneh. Aku berjalan menuju tempat tidur dan tanpa sengaja q menginjak sesuatu. Ternyata yang aku injak adalah tempat makan kucing. Dugg!!! Hhh...aku merasakan sesuatu yang aneh. Suara itu??? Lantunan agung yang menyeruak ke setiap plosok kota. Cepat-cepat aku berlari menuju jendela rendah  kamarku, dan kulihat sekelompok orang yang berbondong-bondong menuju...masjid?! Bergegas aku mengikuti mereka masuk masjid, menuju tempat pemancuran, dan sholat. Ku lakukan seperti apa yang terjadi di mimpi.

Derap langkah kaki para jamaah yang meninggalkan masjid seolah mendesakku segera mengikrarkan diri. Terlihat beberapa orang masih tampak khusuk menikmati irama dentuman biji-biji jali. Pukk!!! Pandanganku menukik tajam pada wajah yang tak asing. Kakek renta dalam mimpiku kini ada di hadapanku.
"Di setiap tempat engkau menemukan kegelapan dalam hidupmu, tidak ada langkah yang tepat kecuali engkau nyalakan pelita dalam dirimu." 

Dengan suara tegas nan pilu kakek itu berkata layaknya ucapan Salwa. Bersamanya kini aku dituntun mengikrarkan diri dan menyatakan pada dunia bahwa aku bukan lagi Antonio Reyhan Loce, tetapi Fatir Reyhan Azreen.



The End
Jejak Mentari.

Komentar

Postingan Populer