Keluarga Doni

Hello, apa kabar pecinta sastra?

Masih tentang cerpen, kali ini saya membuat cerpen untuk mengenang salah satu hal yang berharga dalam hidup saya. Sesuatu yang tidak ingin saya lupakan sehingga saya merasa perlu untuk mengabadikannya dalam sebuah cerpen. 
Oke, tak perlu berlama-lama. Selamat membaca kawan! 😊
~~~~~~~~~~~~

Hai, aku Davi. Kalian jangan tanya kenapa aku di sini dengan tatapan mengawas. Jika aku tidak siaga maka aku akan tertangkap oleh Venty, adikku. Kalau kalian melihat kami, kalian mungkin akan mengira Venty-lah yang jadi kakakku mengingat tubuhnya yang sedikit lebih besar daripada tubuhku. Tetapi kalau soal kelincahan, ibuku bahkan mengakui bahwa akulah juaranya. Selalu ada kelebihan di atas kekurangan bukan? Dia punya kekuatan dan aku punya kelincahan. 

Aku sebenarnya punya 1 adik lagi. Dia laki-laki satu-satunya, tapi dia begitu ringkih. Doni namanya. Meskipun aku bilang tubuhnya ringkih, tapi dia adalah adik terhebat yang membuktikan pada kami bahwa ketinggian bukanlah penghalang untuk menaklukkan rasa takut. Dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan duduk sambil memperhatikan kami bermain. Sepertihalnya saat ini, ketika aku dan Venty asik berkejaran, yang kulihat dia hanya termenung. Aku mengutarakan ideku agar membuat Doni ikut berkejaran juga bersama kami, namun Venty menyuruhku berhenti bermain. Aku menatap Venty penuh tanya. "Ada apa?". Venty hanya membalas tatap. Pandanganku menyapu sekitar. Kulihat Doni yang sedari tadi memperhatikan kami bermain sekarang tergeletak. "Mungkin dia sangat lelah", batinku. 

                                *   *   *

Ibu tidak juga beranjak dari tempat tidur. Padahal kami berharap setelah makan ibu akan mengajak kami bermain seperti biasa. Ibu lebih memilih menemani Doni, adikku yang ringkih dan sekarang sedang sakit parah. Kelihatannya aku sok tahu ya? Sepertinya begitu. Aku hanya menebak-nebak tentang keadaan adikku. Yang aku perhatikan juga, beberapa hari ini dia sangat tidak bergairah, bahkan meninggalkan waktu makan bersama kami. Aku ingat sekali dahulu dia selalu lebih lahap menghabiskan makanannya daripada aku dan Venty. 

Doni yang malang. Kami sangat menyayanginya. Ibu terlihat berkurang nafsu makannya melihat kondisi kesehatan Doni yang semakin hari semakin menurun. Tiap kali Doni makan, tubuhnya seakan menolak makanan apapun yang masuk. Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Tubuhnya yang ringkih kian bertambah ringkih. Tinggal tulang berbalut kulit. 

                               *   *   *

Aku dan Venty masih terpaku di posisi masing-masing. Kami hanya duduk berjauhan, saling tatap, sambil terus menanti sampai Doni sadarkan diri dari tidurnya. Kami putuskan berhenti bermain agar Doni tidak terganggu dengan suara bising kami saat bermain. Lama kami menanti, Doni tetap diam dalam tidurnya. Kucoba mendekati Doni, menatapnya sambil sesekali membelai tubuhnya. Dingin... Begitu dingin yang kurasa. Aku tidak beranjak dari tempat aku duduk. Kami memandang sekeliling menanti kedatangan ibu. Yang kutahu ibu selalu pergi keluar pada jam-jam seperti ini. Mungkin menghirup udara segar, atau sedikit melepas penat dengan jalan-jalan keluar rumah, setelah beberapa hari menjaga Doni. Biarlah... Biarkan ibu refreshing. Jangan sampai ibu ikut sakit. Biar kami yang menjaga Doni.

                                *   *   *

Tiba-tiba pintu terbuka. Ibu datang bersama seorang wanita tua yang membawa sepiring makanan. Aku dan Venty dengan sigap lari ke arah ibu. "Sudah waktunya makan.", kata ibu. Dengan lahap kami makan bersama-sama. Wanita tua itu tahu sekali makanan kesukaan kami. Ia selalu memberi kami makanan dikala kami lapar. Kami menyayangi wanita tua itu seperti kami menyayangi keluarga kami sendiri. Bahkan dahulu ketika Doni masih sehat, Doni selalu duduk di samping wanita tua itu sambil menyaksikan tingkah konyol kami saat bermain. Kami sering jadi korban cubitan wanita tua itu karena saking gemasnya.

Sambil melahap makanannya, pandangan ibu tak henti-hentinya tertuju pada Doni. Masih begitu nyenyak ia tidur. Wanita tua itu mendekati Doni. Ia memeriksa tubuh Doni yang sudah menjadi dingin sejak ibu pergi. Ketika wanita itu membalikkan tubuh Doni, itu terlihat seperti ia sedang membalikkan sebatang kayu. Tubuh Doni begitu kaku! Oh Tuhan... Benarkah Doni adikku sudah menjadi mayat? Aku dan Venty hanya bisa termenung. Ibu menciumi tubuh Doni dan terus mengeong kehilangan.  Wanita tua itu lalu membungkus Doni dan membawanya pergi.

Sejak saat itu kami tidak pernah melihat Doni lagi. Hanya ada ibu, aku, dan Venty. Wanita tua itu juga masih ada bersama kami. Ia masih sering mengirimi kami makanan. Meskipun Doni sudah tidak bersama kami, tapi kenangan bersamanya tidak akan kami lupakan. Aku berharap keluarga kami utuh selama mungkin.

Komentar

Postingan Populer